QUR’ANISASI GENERASI MASA DEPAN

QUR’ANISASI GENERASI MASA DEPAN

QUR’ANISASI GENERASI MASA DEPAN

Problem pengajaran Qur’an memang masih menjadi problem besar ummat. Berkaca hasil survey DMI yang direlease awal 2022, Secara ilman kemampuan umat islam indonesia baru mencapai angka 35% bebas buta aksara al-Qur’an. Artinya masih sekitar 65% atau setara 145 juta muslim dari 223 juta pemeluk agama Islam di Indonesia belum bisa baca Qur’an.

Jika standar penilaian atau indikatornya ditambah kemampuan baca sesuai tajwid atau kaidah, maka boleh jadi angkanya merosot hingga 20%an. Lebih lagi jika yang disurvey adalah kemampuan hafalan dan kemampuan pemahaman arti dari ayat yang dibaca, maka hanya dikisaran dibawah 10%.

Itu baru dari sisi kognitif. Belum lagi jika kita berbicara sisi Al-Qur’an secara “ruuhan” atau spiritualitas Qur’an. Jumlahnya makin langka. Wajar jika Sayyid Quthb menyebutnya memang “jiilul quanul farid” (generasi Qur’an yg unik).

Yang dimaksudkan “ruuhan” disini lebih pada aspek nilai-nilai Qur’ani mulai dari fikrah dan hal yang akan diimplementasikan oleh seorang muslim. Sederhananya Qur’an secara ruhani masuk ke dalam jiwa seorang sehingga membawa pribadinya sesuai dengan tuntutan Qur’an.

Problematika ini sangat serius mengingat Qur’an sudah jelas difahami sebagai panduan nyata bagi semua sisi kehidupan muslim. Perbaikan kehidupan dimulai dari perbaikan interaksi seorang muslim dengan Qur’an. Tanpanya, tentu sangat mustahil. Ibarat punduk merindukan bulan.

Rumah Quran, sebagai institusi pendidikan yang telah mendeklarasikan visinya untuk mempersiapkan lahirnya generasi Qur’ani menjadi salah satu institusi penting dalam kancah pembangunan generasi. Rumah Quran ikut berperan langsung dalam memperbaiki hubungan seorang muslim dengan Qur’an baik secara “ilman” (kognitif) maupun “ruuhan” (afektif dan spiritual).

Mengapa? “Ilman” dan “ruuhan” menjadi dua aspek yang menopang lahirnya generasi Qur’ani. “Ilman” saja tak cukup, atau “ruuhan” saja tidak sempurna, keduanya aspek yang ibarat dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan.

Karenanya, diskusi mengenai perbaikan kualitas pembelajaran Qur’an baik dari sisi i “ilman” dan “ruuhan” menjadi diskusi penting yang akan menyampaikan pada pencapaian Qur’anisasi generasi.

“Ruuhan” atau “ilman” dulu?

“Bi, aku mau kepesantren yang tidak ada hafalan qurannya ya,” seru azmi kepada abinya.

“Emang kenapa? Hafalan kan bagus mi.” Saut abi

“Aku berat bi, ngapalin melulu, tambah dipaksa terus padahal aku lagi gak mood.” Imbuhnya

“Waduh, gagal abi berarti memasukan kamu kepesantren tahfidz selama ini.” Bisik abinya
“ya udah mi, abi cariin pesantren yang gak memaksa kamu agar hafalan lagi.” Ujar abinya menutup pembicaraan.

Cuplikan dialog azmi dengan abinya dapat dimaknai secara biasa. Karena boleh jadi fenomena tersebut kerap saja terjadi di sekolah kita. Namun, jika kita telisik lebih dalam hal itu menjadi evaluasi penting bagi semua lembaga islam dan bahkan masalah itu sangat krusial.

Sejatinya pengajaran Qur’an mencerminkan kualitas “ilman” dan “ruuhan” Pengajaran Qur’an memang secara metodologi dan ilmi dapat dipertanggung jawabkan. Tetapi secara ruh, atau penanaman nilai Qur’an juga tercermin dalam lingkungan belajar dan rumahnya secara bersamaan.

Namun sepertinya telah menjadi problematika di negara Islam secara keseluruhan, fenomena “ruuhan” jarang sekali mendapatkan tempat dalam pengajaran Qur’an.

Hampir kebanyakan lembaga Qur’an sendiri masih fokus dan terjebak pada penguasaan “ilman” titik dan hampir tidak menyentuh “ruuhan”. Wajar saja fenomena itu terjadi, sebab memang kalau dilihat kemampuan umat muslim secara “ilman” juga masih jauh dari kata cukup.

Tetapi pengajaran Qur’an model itu tidak lagi “asholah” sebagaimana generasi salaf dahulu dalam mengajarkan Qur’an. Dan boleh jadi akan terjadi ketimpangan dan efek negatif jika model pengajaran tersebut dipertahankan. Dan fenomena azmi dengan abinya di atas juga merupakan salah satunya.

Banyak faktor penyebab kita hanya menjadikan pelajaran Qur’an hanya dari sisi ilman. Boleh jadi karena standarisasi guru quran di beberapa lembaga juga masih hanya ilman, target sekolah juga berkisar ilman dan lingkungan yang dibangun juga masih menitikberatkan pada sisi “ilman” sedikit “ruuhan”. Sehingga Qur’an dipandang subjek atau mapel sebagaimana mapel lainnya dan berakibat terasa jadi beban yg harus dihilangkan.

Jika itu terjadi, maka boleh jadi ada sebagian yang akan trauma bahkan tertekan dengan pelajaran Qur’an. Pelajaran Qur’an itu gak asyik, gak seru, gitu-gitu aja.

Padahal jika merujuk firman Allah Pengajaran quran termasuk didalamnya hafalan Qur’an sejatinya membahagiakan. “Ma anzalna alaikal qurana litasyqa.” Begitu kata Allah dalam surat toha. “Kami tidak menurunkann Qur’an kepadamu agar sengsara.”

Artinya, jika pengajaran Qur’an membuat sedih, stress, terbebani berarti ada sesuatu yang salah. Entah dalam pengajaran, entah dalam pentahapan, entah dalam interaksi guru dengan siswa.

Karenanya, sebagian ulama termasuk Dr Yusuf Qardlawi menentang beberapa lembaga yang mewajibkan (mentarget) anak kecil seusia SD untuk menyelesaikan target hafalan tertentu. Tentunya, yang beliau maksudkan bukan itu, tapi “mempressure” anak untuk mencapai target tertentu tanpa dorongan kesadaran diri dari motivasi yang kuat justru akan merusak pemahaman Qur’an sejak dini.

Hal itu juga bukan berarti kita membiarkan anak begitu saja tanpa aktifitas target bacaan atau hafalan Qur’an dalam pembelajaran Qur’an. Tapi bagaimana kita berusaha membangun semangat “syumuliyyah” dalam berinteraksi dengan Qur’an. Bukan sekedar ilman, tapi ruuhan harus menjadi prioritas dalam setiap pengajaran Qur’an.

Jika itu massif dilakukan disemua institusi pendidikan, boleh jadi Qur’anisasi generasi menjadi kuat dan menemui titik terang.